Subuh Di Sudut Ibukota
Adzan subuh itupun menggema, berlomba saling bersahut-sahutan menunjukkan kegagahannya. Masing-masing keindahan suaranya pun menyeruak seluruh alam raya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 04.30 waktu setempat. Tanda bahwa waktu sholat subuh akan segera tiba. Dengan lembutnya keharuman sang malampun perlahan mulai akan berganti dengan keharuman sang fajar. Ditandai dengan gema adzan yang begitu bergelora, memanggil-manggil seluruh umat manusia seantero jagad raya, untuk segera menunaikan kewajibannya. Sementara teman perjalanan yang duduk di sampingku, masih saja terlelap dalam buaian mimpi di kursi kemudinya. Malam ini hampir 10 jam ia mengemudikan mobilnya, sehingga membuat raut wajahnya terlihat tampak begitu lelahnya, sampai-sampai matanya pun tampak enggan terbuka untuk menatap kepergian sang malam.
“Bangun Bang, bangun. Sudah dulu rehatnya. Kita cari masjid yuk
karena bentar lagi sudah masuk waktu subuh nih” rajukku pada suami sambil
mengguncang-guncangkan bahunya, berharap suamiku segera terjaga dari tidurnya.
"Memangnya sekarang jam berapa?" tanya suamiku.
"Jam 04.30 wib?" jawabku singkat.
“Bentar lagi ya dek, mata Abang masih susah dibuka. Tunggu nyawa Abang kumpul semua dulu” pinta suamiku dengan entengnya.
"Ya udah, terserah Abang" jawabku sekenanya sambil sedikit cemberut.
Akupun terdiam dalam rasa kesel melihat reaksinya yang kembali merebahkan badan di singgasana kemudinya. Mungkin karena badannya yang terlalu lelah karena hampir semalaman mengemudi. Akan tetapi aku pun tak lantas pasrah, terus ku ingatkan suamiku yang masih terlena dalam lelapnya sampai ia benar-benar terjaga dari tidurnya. Dan alhamdulillah tak butuh waktu lama, iapun segera tergugah dari tidurnya. Mungkin saja saat itu nyawanya sudah terkumpul semua.
"Kita cari masjid sekarang" timpal suamiku, yang kemudian dengan spontan bangkit dari tidurnya, menyadari bahwa adzan subuh telah memanggil-manggil raga untuk segera menghadap-Nya. Langsung dibantingnya setir kemudi, meluncur untuk segera mencari rumah Sang Maha Pemilik jagad raya.
Masjid Al Mukaromah, disinilah tempat pilihan kami untuk memanjatkan segala doa dikala panggilan-Nya menjelma. Setelah sebelumnya kami sempat menghentikan laju mobil ke salah satu masjid yang ada di pusat jantung kota, namun sayang gerbang masjid tersebut masih terkunci dengan sangat rapatnya. Padahal waktu subuh telah berkelana, tetapi masjid tersebut masih tampak tak ada cahaya. Sehingga kamipun berlalu darinya. Tidak apa-apa, mungkin saja marbot di masjid itu masih terlelap dalam tidurnya, karena kelelahan sehingga lupa untuk membuka kunci pintu gerbang di kala waktu subuh tiba. Dan lupa mengumandangkan adzan disana. Sudahlah lupakan saja, masalah masjid yang masih terkunci rapat pintu gerbangnya. Yang terpenting kami sudah menemukan masjid yang lain untuk bisa segera menghadap kepada Allah swt. Namun lagi-lagi sayang seribu sayang, kami sedikit saja terlambat untuk bisa mengikuti sholat berjamaah di masjid ini. Setibanya kami di masjid tersebut, masjid sudah tampak sepi, tak ada satu orangpun terlihat di dalamnya, padahal waktu masih menunjukkan pukul 04.50 wib. Hanya 15 menit saja kami terlambat hadir dari panggilan adzan yang memanggema. Lagi-lagi suasana yang aneh menurut penglihatanku, satu jamaah pun sudah tak ada lagi di dalam masjid ini, entah mereka terpencar kemana perginya. Tanpa berpikir panjang kami pun segera turun dari mobil dan menuju tempat wudhu, membasuh wajah kami dengan kesejukan air yang ada, untuk segera melaksanakan panggilan-Nya. Kamipun pada akhirnya dengan penuh kekhusyu’an menyeru panggilan Sang Maha Rahiim, di sudut masjid ibukota dengan bertemankan sepi yang menyapa.
Alhamdulillah ya Robb, Engkau masih memberikan kami kesempatan untuk bisa sholat berjamaah, dan memberi kenikmatan khusyu’nya ibadah di tengah perjalanan kami. Inilah cinta yang Allah lukis dengan tangan lembutnya di atas cerita dunia yang fana. Indah dirasa, menenangkan jiwa. Itulah kesejukan yang menelusuri relung-relung hati kami. Di kala lantunan ayat-Nya menyeruak bumi, ketika jiwa seutuhnya berserah diri mengagungkan asma-asma Illahi. Sehingga sudah tak peduli lagi dimana posisi kami berdiri. Yang terpenting, diri ini bisa mendapatkan siraman yang menyejukkan jiwa dan raga dari Sang Maha Pencipta. Dan akupun hanyut pada pesona keindahan cinta-Nya, keelokan setiap bait-bait ayat suci-Nya. Rasanya tak ingin ku lepas dari-Nya. Hanya Dia Yang Maha Bijaksana, Maha Menenangkan Jiwa. Dan hanya kepada-Nya lah segalanya bermuara.
Inilah subuh di sudut ibukota, bagiku sedikit miris melihat keberadaan sebagian masjid-masjidnya. Dimana pintu-pintu masjid itu masih terkunci dengan rapatnya. Begitupun dengan keadaan masjid yang kami singgahi saat ini, tak jauh berbeda dari masjid sebelumnya. Hanya saja yang membedakan, kalau masjid sebelumnya pintu gerbang yang begitu gagahnya yang masih terkunci dengan rapatnya. Sementara disini hanya pintu-pintu masjidnya saja. Terpaksa kami pun saat itu memilih untuk sholat di beranda masjidnya, karena kami tidak bisa masuk ke dalamnya. Ya, di beranda masjid yang menjadi lokasinya. Di situlah posisi kami berdiri untuk mengagungkan asma-Nya, menghadap Sang Maha Pencipta. Hmmm, jangan terheran-heran ya? Mungkin ini sudah menjadi pemandangan biasa di Jakarta. Dikunci semua pintu masjidnya, setelah jamaah selesai melaksanakan ibadah subuh di dalamnya. Sedih rasanya, melihat masjid berdiri begitu megah dan kokohnya, namun keberadaannya sepi oleh manusia. Padahal adzan subuh baru saja bergema, lima belas menit yang lalu. Tapi masjid sudah menjadi tampak sunyi sepi begini tanpa ada penghuni di dalamnya. Keadaan ini terlihat aneh, tetapi nyata. Sholat di beranda masjid? Wah itu rasanya sangat luar biasa, pengalaman pertama yang amat berkesan di mata, karena baru kali inilah aku merasakannya. Bukan karena ruangan masjid yang sudah penuh sesak oleh jamaahnya, bukan pula karena banyaknya orang yang berdatangan mengunjunginya, tapi hanya karena semua pintu masjid ini sudah terkunci dengan rapatnya. Yah, itulah sekelumit cerita di atas dilematisnya raga di tengah perjalanan menuju ibukota, sampai-sampai masjid pun ikut terkunci oleh suasana.
Selesai kewajiban kami menghadap Sang Maha Pencipta, kami
pun merehatkan badan sejenak guna merefresh pikiran. Duduk berdua sambil
meluruskan kaki, kami bersantai di beranda masjid nan megah ini.
“Bang kalau seperti ini kita seperti orang yang terlantar ya?
Dengan suasana masih agak gelap, duduk di beranda masjid sambil selonjoran tanpa
ada orang yang peduli sama kita. Sepi lagi” celetukku spontan dengan asalnya.
“Hush, apaan sih kamu ini ngomongnya, ya enggaklah. Enak saja. Mana ada orang terlantar sekeren Abangmu ini” seru suamiku tak menerima.
“Oya? Ih air laut asin sendiri. Terus kenapa ya Bang kok semua pintu masjid ini di kunci, padahalkan sudah subuh Bang. Bahkan bentar lagi pagi” selaku penasaran.
“Mungkin takut ada maling, makanya semua pintu masjidnya
disini dikunci begitu selesai sholat subuh” jawab suamiku menjelaskan.
“Maling? Memangnya apa yang mau di maling di dalam masjid,
aneh ihhh...” timpalku sekenanya.
“Ya ada saja. Maling kotak amal, maling mic, maling sandal, maling karpet masjid. Atau juga, bisa saja maling hati seorang wanita seperti kamu hahaha” ujar suamiku sambil tertawa terbahak.
“Oh, begitu. Wait! Apa kata kamu tadi, maling hati seorang wanita. Kayaknya itu pengalaman kamu ya Bang. Udah berapa wanita yang kamu paling hatinya, siapa saja?” timpalku singkat sambil tertawa.
"Cie cie kamu cemburu ya. Mau tahu banget apa mau tahu aja. Kamu kepo ih sama masa lalu aku" goda suamiku.
"Apaan sih, siapa yang cemburu. Gak banget lagi" celetukku.
"Tidak penting berapa banyak hati wanita yang pernah Abang paling. Karna itu masa lalu. Ketika Abang belum menikah denganmu. Masa-masa jahiliyaku. Yang terpenting sekarang, adalah kamu satu-satunya pemenang hatiku. Penenang dan peneduh jiwaku, yang akan aku jaga dan aku lindungi hingga akhir hayatku. Dan aku, termasuk orang yang paling bahagia karena bisa memenangkan hatimu" jawab suamiku sambil merengkuh tubuhku.
"So sweet banget Abangku ini. Terima kasihnya ya Bang, sudah berusaha menjadi suami terbaik untuk diriku. Semoga Allah selalu menumpahkan berkah dan rahmat-Nya dalam pernikahan kita. Akupun beruntung memiliki suami seperti Abang, yang setia dan penyayang".
"Aamiin yaa robbal alamiin".
Subuh itu, kamipun terbawa pada tawa renyah dan senyum bahagia. Di atas obrolan yang menyeringai kata dalam kalimat cinta. Sederhana sekali maknanya, namun dunia dan seisinya ikut menggema menikmati pesonanya. Menyaksikan keindahan drama kedua anak manusia. Yang terikat dalam mahligai surgawi dunia. Sungguh, nikmat Tuhan mana lagikah yang engkau dustakan. Begitu indah suasana pagi, bersama kesejukan cinta Allah yang membahana alam raya. Membawa kidung pagi, yang siap meyapa. Menyeringai senyum dalam kata kesyukuran hati diantara kedua makhluk ciptaannya.
Tanpa terasa hampir setengah jam sudah kami merehatkan badan di beranda masjid ini. Sang fajar pun mulai menampakkan kegagahannya kepada kami. Tanda bahwa cahaya pagi akan segera tiba menyapa alam dunia. Siap menggantikan pesona subuh dengan sinar mentarinya. Cahaya pagi pun dengan malu-malu mulai menyapa wajah kami berdua, menelisik lewat sudut Ibukota. Menyadarkan kami untuk segera beranjak dari keindahan beranda masjid ini. Kaki pun bergegas pergi menuju sebuah mobil, yang terparkir di halaman masjid sejak tadi. Dan kami siap melanjutkan perjalanan, perjalanan menuju istana kecil yang penuh dengan cinta dan kasih-Nya.
Komentar
Posting Komentar